Sunday, July 14, 2013

Firemen, Heroism & A Sick Nation

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.” (Bung Karno, 10 November 1961)
Tiga hari lalu, Kamis (Juli 11), kebakaran terjadi di lantai 4 komplek kantor gue. Beruntung tidak ada korban jiwa dan beruntung pula kantor gue, ‘The Daily Planet’, yang kebetulan percis berada di gedung Blok A lantai 4 tersebut, lolos dari amukan api. Kejadian-kejadian seputar kebakaran itu memberikan pelajaran penting terkait dengan kondisi kebangsaan kita yang rasa-rasanya patut kita jadikan bahan renungan bersama.

Kamis siang di hari kedua Ramadan Itu adalah Kamis siang yang benar-benar terik. AC kantor yang biasanya ampuh menebar hawa dingin ke seluruh penjuru ruangan, kali ini benar-benar tak berdaya diterjang panasnya cahaya matahari yang merangsek masuk menembus dinding-dinding kaca. Panas men..

Jarum jam menunjukkan pukul 12 tepat dan jaket hoodie converse biru gue udah tanggal dari badan. Gue yang masih sakaw ngetik sempat sekilas melirik ke beberapa kawan jurnalis yang juga masih sibuk dengan artikel masing-masing, sebelum akhirnya satu seruan keras memecah keheningan yang janggal di ruangan yang panas itu.

“Kebakaraaannn…!! Cepat turuuunnn..!!!” seru mas Agus, OB gedung A, dari depan pintu kantor The Daily Planet.

Singkat cerita kami akhirnya sampai di bawah dan mendapati kerumunan ratusan pekerja yang telah lebih dahulu berhamburan keluar gedung. Pusat perhatian tak lain adalah jilatan api yang berasal dari lantai 4 kantor notariat Fardian SH. Lulu yang ada di samping gue yang biasanya bawel dan sok tangguh, matanya mulai berkaca-kaca. Mungkin karena dia menyadari kalau sumber kebakaran tersebut, ke arah timur hanya berjarak satu kantor dari genset dan tiga kantor dari The Daily Planet yang sama-sama berada di lantai 4 gedung A. Holy crap!

Alhamdulillah, beberapa menit kemudian datang dua blangbir (sebuah kata serapan dalam bahasa Betawi yang diambil dari bahasa Belanda brandweer, yang artinya truk pemadam kebakaran) dari pintu selatan komplek perkantoran yang kemudian diparkir sekitar 100m dari kantor notariat yang terbakar. Disusul kemudian dengan beberapa blangbir lainnya dari pintu Utara dan barat yang menurut Nicky total keseluruhannya berjumlah 20 truk.

Dengan cekatan para petugas pemadam kebakaran (firemen) mengulur selang menuju ke depan kantor notariat dan dengan gagahnya di dalam balutan seragam orange menyala, mereka menyongsong amukan api yang menjilat-jilat dari lantai 4. Sementara HP gue terus berdering, tak lama setelah gue posting foto gedung yang terbakar dari akun Twitter gue. Hati senang juga banyak teman yang bersimpati dan turut mengirimkan doa dari jauh… Makasih yaaa… ;)

Sambil mengulurkan dua tas cangklong berisi berkas-berkas penting, termasuk akta perusahaan yang sebelumnya sempat Lulu amankan, gue bilang ke Lulu kalau angin bertiup ke timur maka kantor kita dalam bahaya. Entah Lulu dengar atau tidak dan gue tinggalkan dia untuk merangsek menembus kerumunan massa menuju ke titik terdekat dari para petugas pemadam yang sudah bersiap mengarahkan mulut selang yang menganga menantang lidah-lidah api yang kian membesar dan terus menari menggila membakar lantai 4.

Semprotan pertama meluncur ke atas tapi gagal mencapai jarak vertikal lebih dari 5m. Gue yang berada di barisan depan kerumunan massa dan hanya berjarak sekitar 20m dari petugas pemadam kebakaran terdekat, mendengar cemoohan sahut menyahut dari kerumunan massa.

“Jiahahaa.. Payah ngecrit doang!” seru seeorang ketus.

“Mana bisa padam kalo gitu mah?! Bego!” timpal yang lain tak kalah ketus.

“Goblok! Seharusnya pake tangga dong biar aernya sampe ke atas!” saran seorang lain sok tau.

Dan masih ada banyak cemoohan merendahkan lainnya yang sepatutnya tidak pantas ditujukan kepada para petugas pemadam, para pahlawan mereka siang itu. Berkebalikan banget dengan visualisasi pikiran gue dimana kerumunan orang berteriak bergemuruh untuk memberikan semangat bagi para petugas pemadam. Dan gue sejenak tertegun menyaksikan karakter menyebalkan kebanyakan orang yang berkerumun siang itu yang begitu mudah menggoblok-goblokkan merendah-hinakan orang lain tanpa memberi mereka kesempatan untuk membuktikan diri. Asshole!

Dan entahlah apakah para petugas pemadam tersebut mendengar cemoohan itu semua atau tidak, karena gue lihat mereka acuh saja. Mereka tetap fokus mengarahkan pandangan ke atas ke makhluk merah yang tak henti berjoget-joget angkuh meledek mereka. Dan gue lihat lidah api si merah makin liar membakar habis bangunan ke arah timur menuju genset. Gawat!

Para petugas pemadam sekali lagi kembali menyemprotkan muntahan air ke atas. Kali ini berhasil, dan muntahan air dalam debit besar meluncur ke atas dengan sempurna menerjang si makhluk merah. Sambil mencondongkan tubuh ke belakang gue berusaha sebisa mungkin mengabadikan momen heroik ini dalam lansekap vertikal yang utuh dengan kamera Blackberry gue. “Damn, coba yang ada di tangan gue sekarang ini Nikon DSLR!” gerutu gue dalam hati, atau bukan ya hhee.. Entahlah soalnya gue sekilas melirik ke dua orang gadis muda dan bapak-bapak di dekat gue yang tertawa mengikik ke gue sepertinya. Whatever, gue akhirnya berhasil menjepret beberapa foto dan salah satunya kemudian gue posting via akun Facebook gue.

Masya Allah! Angin berbalik ke arah barat laut menggiring lidah-lidah api yang sebenarnya sudah begitu dekat dengan genset dan tiga ruangan yang memisahkannya dengan kantor The Daily Planet. Kini lidah-lidah api menggila melawan terjangan air dan terus membakar ruang-ruang kantor ke arah barat laut. Para petugas pemadam yang mengepung gedung dari sisi selatan, barat dan utara melipatgandakan kekuatan debit airnya. Setelah hampir 2 jam berjuang menjinakkan api, para pahlawan kami siang itu akhirnya berhasil memadamkan kebakaran.

Sementara itu, kerumunan besar orang mulai membubarkan diri. Iya membubarkan diri tanpa tepukan tangan, teriakan, suara suitan apalagi jabat tangan memberi selamat dan terima kasih pada pahlawan mereka yang telah bersusah payah memadamkan api. Ya gue tahu sih sepertinya para petugas pemadam juga gak mengharapkan itu semua, tapi.. What the fuck! Manusiawi lah men, wajar kalo sepatutnya mereka mendapatkan penghormatan yang layak dari orang-orang yang sudah mereka tolong. Ini… Aah gue aja sampe gemes ngeliatnya. Satu karakter menyebalkan lainnya dari sebagian besar orang di lokasi kebakaran siang itu yang dengan begitu cepat melupakan orang-orang yang dengan tulus ikhlas bekerja keras bersusah payah mempertaruhkan nyawa untuk menolong mereka memadamkan kebakaran. For God's sake, What the hell's wrong with people in this planet?

Singkat cerita, kau dan aku jatuh cinta. Eh salah fokus! Hhee.. Maksudnya singkat cerita gue sama teman-teman duduk lesehan di depan pintu masuk gedung A untuk beristirahat dan menurunkan adrenalin kita yang terpacu dua jam terakhir. Disinilah mengalir komentar dari Indra, Benny dan Umar yang juga kesal dengan kelakuan kebanyakan orang terhadap para petugas pemadam.

“Iya tuh ngehe banget masa dibego-begoin gitu trus pas udah padam gak ada yang tepok tangan apalagi jabat tangan kasih selamat. Udah gue salamin aja tadi petugasnya,” seloroh Indra kesal.

“Sakit banget dah!” sahut Umar.

“Emang. Gue tadi juga sempet nyalamin coy. Kenapa ya pada begitu?” tanya Benny.

“Apa di tempat-tempat lain begini juga ya? Apa ini fenomena umum? Jauh banget dari bayangan gue,” tanya gue lebih lanjut.

Pertanyaan demi pertanyaan meluncur keluar melayang-layang jauh ke angkasa, lalu terbang menguap entah kemana. Dan keseluruhan kejadian siang itu memang sampel yang teramat tidak memadai untuk gue bisa mengekstraksinya dan menarik generalisasi atas kondisi kebangsaan kita. Tapi paling tidak, bolehlah itu semua diambil sebagai potret kecil mewakili gambaran karakter menyebalkan diri kita sendiri yang begitu mudah merendah-hinakan orang lain tanpa memberi mereka kesempatan untuk membuktikan diri dan juga begitu cepat melupakan jasa orang lain kepada kita. Bolehlah kemudian kita tanyakan kepada diri kita sendiri: Adakah melekat, sifat-sifat menyebalkan tersebut pada diri kita? Kalau iya, manusia macam apakah kita ini? Dengan pondasi karakter seperti itu, bangsa macam apa yang mau kita bangun?

Terbayang seketika itu juga wajah-wajah para founding fathers, terutama Tan Malaka. Mereka yang telah memberikan segala tapi dilupakan dengan segera. Coba misalnya, berapa banyak yang tahu kalau Tan Malaka adalah negarawan Indonesia pertama yang mencetuskan konsep Republik Indonesia? Berapa banyak yang tahu kalau cinta sejati Tan Malaka hanya untuk Republik Indonesia – dan Syarifah Nawawi – yang menyedihkannya belum pernah membalas dengan cinta yang sepatutnya? Berapa banyak yang tahu kalau Tan Malaka menjalani sebagian besar hidupnya sebagai pelarian dan buronan politik? Berapa banyak yang tahu kalau hidup Tan Malaka berakhir tragis di ujung senapan serdadu-serdadu Republik yang ia bidani kelahirannya, yang ia perjuangkan eksistensinya dengan segenap jiwa raganya? Berapa banyak yang tahu kalau keberadaan jasad dan makam Tan Malaka masih menjadi tanda tanya besar dimanakah gerangan berada?

Terakhir, diyakini jasad dan makam Tan Malaka, negarawan terbaik yang pernah dilahirkan Republik ini, berada di kaki Pegunungan Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Selebihnya gue gak tau bagaimana hasil uji dna yang dilakukan terhadap sisa-sisa jasad dari makam yang diyakini sebagai makam Tan Malaka.

Okelah, gue cukupkan sampai disini dan gue tutup tulisan ini dengan mengutip Pramoedya Ananta Toer: ini semua untuk yang dilupakan dan yang terlupakan.

No comments:

Post a Comment