Thursday, May 20, 2010

Bangsa yang Bopeng Sebelah

Konflik politik berdarah yang berkelanjutan di Thailand antara militer penyokong PM Abhisit Vejjajiva dengan massa demonstran Kaos Merah pendukung mantan PM Thaksin Shinawatra membuat siapapun yang membenci kekerasan termasuk saya, makin tak bsa tidur. Hati rasanya teriris melihat sesama manusia saling membunuh menumpahkan darah. Di tengah kegalauan itu, saya coba selesaikan tulisan yang lama tertunda tentang konflik politik tersebut, khususnya tentang sepak terjang Si Kaos Merah. Tapi tak jua bisa selesai. Ini karena pikiran dan hati saya belum tenang. Masih kacau wasaicau dirusak adegan kekerasan tersebut. Padahal saya selalu membutuhkan hati dan pikiran yang tenang untuk dapat menulis. So, di tengah kebuntuan itu, saya mendadak teringat dengan sebuah catatan singkat yang saya tulis pada 15 April 2010 lalu yang lupa saya posting di blog saya. Tulisan singkat yang saya maksudkan menjadi refleksi dari tragedi berdarah di Makam Mbah Priok. Jelas antara Tanjung Priok, Indonesia dengan Bangkok, Thailand terpisah ribuan mil. Namun sepertinya ada jalinan benang merah yang dapat diambil. Inilah dia tulisan tersebut. Moga bisa menjadi pengantar untuk tulisan tentang Si Kaos Merah.

***

Mencermati tragedi berdarah kemarin (14/4), membuat kita tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala tanda tak habis pikir. Mengapa harus selalu menunggu jatuhnya korban jiwa, raga, dan harta benda untuk dapat duduk berbicara sejajar, sama rata, sama rasa? Mengapa perlu ada darah tertumpah, kendaraan dan bangunan porak poranda serta penyesalan untuk membuat para pemimpin mau mendengarkan jeritan kehendak rakyatnya? Haruskah selalu seperti ini? Ini jelas bukan Indonesia yg sebenarnya. Dan pemimpin sejati yang jernih hatinya tahu betul dan tak akan pernah membiarkan situasi seperti itu terjadi berulang kali.

Dan hari ini (15/4), akhirnya mediasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, antara PT Pelindo II dan ahli waris Mbah Priok, menemui titik terang. PT Pelindo II menyanggupi segala permintaan ahli waris yang diwakilkan kepada Ketua FPI Habib Rizieq. Pihak PT Pelindo II berjanji akan memperlebar dan merenovasi makam Mbah Priok. Selain itu gapura dan pendopo akan diubah posisinya. Rencananya, akan dibuat pendopo dan gapura baru di sebelah selatan makam. Demikian diungkapkan oleh Dirut PT Pelindo II RJ Lino dalam pertemuan di Balaikota Jakarta, yang dipimpin langsung oleh Wagub DKI Jakarta Prijanto tersebut. Kedua belah pihak juga sepakat dalam waktu dekat akan melakukan pertemuan untuk membahas sengketa pembangunan di kawasan makam Mbah Priok.

Mengapa pihak Pelindo II tidak mencoba bermusyawarah sebelumnya dengan pihak ahli waris hingga bentrokan berdarah dapat dihindarkan? Mengapa upaya melakukan mediasi dengan tercapainya kesepakatan damai seperti ini baru dilakukan sekarang? Mengapa tidak ada inisiatif sebelumnya dari Pemda DKI Jakarta untuk menjadi penengah, malah justru turut terlibat dalam konflik dengan menurunkan Satpol PP? Barangkali ini adalah cermin dari ketidakpahaman dan ketidakmautahuan pemimpin mengenai aspirasi masyarakatnya.

Yang jelas kita semua perlu merenungkannya bersama-sama. Ini bukan sekadar konflik antara ahli waris Mbah Priok dengan PT Pelindo II. Ini juga bukan sekadar konflik antara Santri Mbah Priok dan umat Islam dengan Satpol PP dan Polisi. Tapi ini adalah konflik kebangsaan. Contoh budaya kekerasan yang membuat bangsa berjuluk Jamrud Khatulistiwa ini menjadi bopeng sebelah. Pada bangsa yang gandrung dengan budaya kekerasan maka segala apapun diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan jadi jalan pertama dan terakhir untuk mencapai kepentingan golongannya. Kekerasan menjadi instrument untuk mengalihkan isu. Tak heran bila kemudian, siapapun yang berkuasa maka benih-benih konflik semacam ini akan selalu dipelihara. Tapi benarkah kekerasan adalah bagian dari budaya kita?

Baiklah, kita perlu berbesar hati bahwa budaya kekerasan eksis dalam perilaku masyarakat kita sejak dulu hingga hari ini. Namun, ada baiknya bila kita sadari bersama bahwa bangsa ini juga memiliki kekayaan local wisdom yang seharusnya dapat lebih ditonjolkan ke permukaan. Keramahtamahan, tenggang rasa, tepo seliro, kekeluargaan, dan musyawarah adalah nilai-nilai positif yang juga eksis dalam perilaku masyarakat kita. Mengapa kemudian yang justru dominan muncul ke permukaan adalah sisi-sisi negatif dari budaya kita seperti kekerasan, korupsi, dsb? Sudah barang tentu, berbagai pertanyaan ini memerlukan penjelasannya.

Elizabeth Fuller Collins, mantan Direktur Program Kajian Asia Tenggara, Ohio University, pernah mengungkapkan bahwa kekerasan yang meluas di Indonesia tidaklah mungkin untuk dibantah. Kekerasan tersebut muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan konflik.

Dari pendapat Collins tersebut, titik beratnya adalah ada pada kegagalan Negara/pemerintah. Selama Negara yang dikendalikan oleh para mafia ini masih selalu memelihara konflik untuk kepentingan politiknya, dan selama pemerintah gagal menjadi pengayom masyarakat yang bersedia mendengarkan dan memberikan solusi terhadap permasalahan warganya maka selama itu pula kekerasan akan tumbuh subur di Indonesia.
Jadi, pemerintah/negaralah yang harus bertanggung jawab atas tumbuh suburnya budaya kekerasan di negeri ini. Dan kemudian rakyatlah yang juga perlu bertanggung jawab karena telah salah memilih pemimpin-pemimpin yang tidak mengurus Negara ini sebagaimana mestinya hingga bangsa ini menjadi bopeng sebelah.

Ke depan, tantangan untuk bangsa ini bukanlah semakin mudah tapi jelas semakin berat. Kondisi diperparah dengan pemerintahan yang demikian bobrok dan pemimpin yang korup. Dan saya berharap dengan sangat, kalaupun pemimpin dan pemerintah yang korup dan bobrok harus berganti karena benar-benar sudah tidak dapat lagi dipercaya dan tidak layak lagi untuk dipertahankan maka mudah-mudahan kali ini upaya pengambilalihan itu tidak ditempuh dengan jalan kekerasan. Cukup sudah! Jangan ada lagi darah yang tertumpah di negeri ini. Saudara-saudaraku sekalian sebangsa dan setanah air, percaya padaku bahwa Indonesia yang sebenarnya bukanlah bangsa yang bopeng sebelah.


15 April 2010

No comments:

Post a Comment