
Tak salah perkataan dari seorang penyair besar dizamannya bahwa kegelisahan itu menyiksa tapi menggairahkan. Kegairahan karena sebuah keyakinan. Keyakinan tentang mimpi keadilan. Keadilan penjemput cita-cita kesejahteraan. Dan pintu pembukanya ada dalam semangat pembebasan dan pemberontakan yang adalah jiwa kaum muda.
*****
Hujan rintik-rintik masih turun membasahi Kota Depok. Rupanya langit masih belum puas mengguyur kota ini dengan hujan deras tadi malam. Depok, Kota kecil yang dulu hijau, asri dan nyaman mendadak kalut dan gagap. Kalut karena kedatangan ribuan penghuni baru setiap tahunnya. Yang kemudian sebagian besar tinggal menetap dan beranak pinak. Gagap lantaran kepemimpinan yang bodoh dan tidak becus menghasilkan pembangunan yang serampangan tak terkontrol. Hujan sedikit saja, banjir sudah menggenangi berbagai sudut Kota Depok. Kalau sudah begini, kemacetan Jalan Margonda yang sudah sedemikian parah bertambah kacau.
Lelah dan kantuk tak henti menggoda. Menggoda tubuh untuk tetap berbaring di sehelai tikar lusuh. Yang jelas tidak empuk tapi cukup melenakan. Ini akibat pergaulan bebas dengan beberapa dewi malam. Tapi tak sia-sia, laporan penelitian ini selesai juga. Sambil berbaring menatap langit-langit kost, ingatanku melayang ke hari-hari turlap di Langkat. Melelahkan tapi mengasyikkan. Asyik, begitu kita mulai dan terus meluncur dari semacam entry point ke dalam struktur dan kultur masyarakat. Menyelam hingga ke palung sosial yang terdalam, mencoba menemukan mata rantai yang hilang dan mutiara yang terlupakan untuk sebuah jawaban yang terabaikan. Lelah bukan sekadar fisik melainkan juga psikis.
Tentu anda ingat sebuah fragmen dalam film Highlander, yaitu ketika Connor Macleod memenggal kepala musuhnya dengan pedangnya. Setiap kali memenggal, Connor Macleod bukan hanya mendapatkan kekuatan musuh yang dipenggalnya melainkan juga mendapatkan seluruh pengalaman hidup musuhnya. Satu sisi, sebuah sensasi luar biasa dan di sisi lain adalah hal yang menyiksa dan melelahkan. Begitu satu penelitian berakhir, beban berat seolah dijatuhkan ke atas bahuku.
”Bang Ryan, aku ikut ke kampus ya!”, suara Indra menghentikan lamunanku.
”Ikut kemana, Ndra?”, tanyaku sambil membuka paksa kedua kelopak mata yang bandel.
”Bareng ke kampus, Bang! Aku juga mau ke perpus ni. Abang jadi kan menyerahkan laporan ke lab sore ini?”, tanya Indra.
”Ooh, tentu saja. Ya sudah, mandilah kau dulu sana! Ga pake lama ya!”, tegasku.
Setelah melewati pendakian yang terjal akhirnya kami sampai juga di tepi Jalan Margonda. Memang malam tadi aku menginap di kost Indra. Komputer di kostanku di Kober sedang ngambek minta dibelikan monitor baru.
”Bah, manja kali! Sudah bertahun-tahun kau hidup bersamaku, masih saja kau rewel!” Aku paling kesal jika saat dibutuhkan justru komputerku berulah. Beginilah kalau punya komputer tua.
”Makin ngeri aja ya Bang menyebrangi jalan ini!”, Indra mengomentari kondisi Jalan Margonda yang semakin penuh dengan kendaraan bermotor.
”Yup! Betul banget, Ndra”, jawabku.
Komentar Indra jadi mengingatkanku akan kecelakaan yang menimpa sahabatku beberapa waktu lalu. Ketika itu ia sedang menyebrang Jalan Margonda dari arah Gang Damai. Tiba-tiba sebuah mobil yang ngebut seenaknya tak mempedulikan langkah-langkah kaki sahabatku itu. Mantaplah sudah, kakinya patah, masuk UGD dan rawat inap selama 1 bulan penuh.
“ Sabar ya Bung! Moga saja tidak ada Reza-Reza lain yang bernasib sama.“
Ya semoga saja kondisi Margonda yang semakin mengerikan berbanding terbalik dengan angka kecelakaan yang semakin sedikit. Ini lebih tepat sebuah penghiburan dibanding pengharapan. Karena nampaknya pihak Pemkot Depok masih tuli dan buta. Aku pikir seharusnya di beberapa titik di Jalan Margonda ini sudah layak dibangun jembatan penyebrangan atau minimal lampu merah khusus untuk pejalan kaki. Kalau Pemkot tidak punya dana maupun anggaran, cerdas sedikitlah, nasihati baik-baik para pemilik mal untuk patungan bikin jembatan penyebrangan. Jadi pemimpin bukan hanya duduk tenang melainkan tanggap terhadap permasalahan di depan mata. Banyak masalah artinya banyak ibadah. Banyak ibadah bukankah berbuah banyak pahala. Bukan begitu Ustadz?!!
Dengan susah payah akhirnya kami berhasil menyebrangi jalan. Kami menyusuri jalan kecil di samping kampus Guna Darma.
”Bah, jalan?! Ini lebih pantas disebut lorong terbuka. Lebarnya saja tak lebih dari satu meter. Tak cukup untuk dilalui dua orang beriringan.”, protesku.
Aku masih ingat, ketika pertama kali aku melewati jalan ini tahun 2000 lalu. Jalan kecil di samping kampus Guna Darma ini masih jauh lebih lebar. Bahkan pintu masuk menuju kampus dibuka sehingga di jam-jam sibuk saat orang berlalu lalang melalui jalan ini, sebagian bisa masuk ke halaman kampus. Sekarang? Anda rasakan sendiri.
”Dasar! Kebijakan kampus yang anti sosial!”, sesalku.
Aku tak menegasikan alasan keamanan yang mereka ambil untuk menutup pintu kampus dan mempersempit ruang jalan. Tapi mereduksi fungsi sosial jalan juga bukanlah hal yang bijaksana. Perlu ada solusi yang lebih secure bagi kampus dan useful bagi masyarakat umum. Aku juga tidak menafikan bahwa bentuk kebijakan kampus yang lebih anti sosial juga dilakukan oleh kampusku UI. Masih nyata dalam ingatanku sepanjang periode tahun 2002 hingga akhir 2003, pihak rektorat UI mulai ”menggembok” pagar-pagar kampus dan membongkar berbagai kantin dan pasar di beberapa sudut kampus UI. Tujuannya menetralisir kampus UI dari pedagang kaki lima. Kebijakan gila yang tidak beradab. Apa semua yang ada di rektorat tidak ingat bahwa kampus kita yang megah berada di tengah-tengah kampung. Dibangun di atas tanah leluhur mereka yang telah digusur secara rela maupun tidak. Sebagian yang tidak rela karena ganti rugi gusuran yang lebih rendah dari nilai sesungguhnya. Bagi yang rela karena demi kemajuan bangsa, demi harapan bahwa tanah leluhur mereka kelak akan jadi tempat berdiskusi, menimba ilmu para putra-putri terbaik bangsa dari penjuru nusantara. Rela demi sebuah asa bahwa tanah leluhur mereka akan menjadi pupuk bagi tumbuhnya para pemimpin baru yang merakyat. Kenyataannya sekarang?????
”Bang, menurut abang apaan sih konsep trust itu?” Pertanyaan Indra membawaku kembali ke masa kini.
”Trust itu adalah basic principle of human relationship.”, jawabku.
“Tanpa trust, jelas tidak akan ada yang disebut hubungan pertemanan, persahabatan, persaudaraan, kerjasama maupun yang sejenisnya. Imam Hasan Al Banna dalam Arkanul Bai’at mengemukakan bahwa Tsiqoh (Trust) adalah bagian penting dari bangunan ukhuwah para ikhwan. Demikian pula dengan Francis Fukuyama yang menyatakan secara teoritik dalam bukunya “Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran” bahwa trust di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya akan memunculkan kapabilitas sosial. Nah, Social capability inilah yang secara konseptual disebut sebagai social capital. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada di antaranya. Jadi sederhananya trust yang terjaga dan terbina dengan baik akan berkembang menjadi bangunan sosio-kultural yang kokoh dengan segala pencapaiannya. Dua individu atau lebih yang saling menjaga trust akan berkawan. Dua negara atau lebih yang juga menjaga trust akan bersekutu. Oleh karena perkawanan dan persekutuan menghasilkan kekuatan, maka trust adalah pengikatnya. Tak heran jika Thomas Hobbes dalam bukunya The Leviathan menyatakan bahwa “to have friends is power”.
“Ooo.. gitu ya!”, seloroh Indra dengan wajah polosnya.
Ah, indahnya dunia ini kalau seluruh manusia bisa saling mengerti, memahami satu sama lain. Seindah pelangi yang menghiasi langit Depok sore ini.
*****
Akhirnya setelah berdesak-desakan di jalan sempit Gundar dan menunggu sebentar berlalunya krl express sambil ditemani kepulan asap motor yang menyesakkan dada, sampailah kami di areal kampus UI. Kampusku yang hijau. Udara dikampusku masih tetap sejuk. Walau jumlah pepohonan dan area hijau telah banyak berkurang akibat progresivitas pembangunan gedung-gedung dan lahan parkir baru. Bagi mereka yang berpikiran sempit, pepohonan lebat mengundang kejahatan. Jadi pepohonan lebat perlu ditebang demi alasan klise tentang keamanan, kenyamanan, dan estetika. Begitu mungkin jalan pikiran mereka. Beberapa kejadian tindak kejahatan yang dialami oleh mahasiswa UI diambil sebagai momen yang tepat untuk mengeksekusi rencana gila itu.
Hijaunya kampus UI pasca hujan memang surga bagi Depok yang sesak oleh manusia, properti dan polusinya. Kuhirup dalam-dalam udara sore yang sejuk itu. Udara segar yang seolah menghidupkan kembali seluruh sel dan syaraf yang ada di tubuhku. Menghilangkan lelah dan kantuk yang tak henti memasung jiwa dan pikiran untuk terlelap.
“Ndra, sini aku tunjukin salah satu tempat favoritku!”, seruku sambil terus berjalan melewati halte balairung menuju ke pinggir Danau Salam.
“Nah, kau liat undakan tanah di bawah batas akhir tembok balairung, persis di sebrang Masjid UI?”, tanyaku pada Indra.
“Iya bang! Jadi itu tempat favorit abang.”
“Dulu persis di tempat itu ada sebatang pohon besar yang rindang. Dahannya tumbuh miring hingga ke muka danau. Jadi kalo aku duduk atau tiduran dibawahnya, aku akan dipayungi oleh rindangnya dahan pohon itu. Jadi aku bisa tenang dan konsentrasi dengan tumpukan buku yang kubawa. Kalo aku lagi kesal atau sekadar ingin merenung, nah itu juga salah satu tempat yang aku datangi. Satu hal lagi, dan ini yang paling penting, hehe.. dari tempat itu aku bisa melihat bidadari-bidadari yang turun dari lantai dua Masjid UI, macam Jaka Tarub melihat tujuh bidadari turun dari langit.. Wakakakak..!”
“Huahahaha...Dasar! Bisa aja nih abang.”
“Hmmm.., sayang pohon itu udah ditebang. Damned!”, kutukku sambil memandangi gedung yang menjulang tinggi dengan angkuhnya. Dulu, aku dan kawan-kawan Forum 2000 menyebut gedung itu sebagai simbol arogansi. Aaah.. tiba-tiba aku merindukan masa itu. Merindukan kawan-kawan kala itu. Aku ingat buletin Forum 2000 yang kami gagas, buletin bersejarah yang terbit untuk perdana dan kali terakhir. Karikatur di sampul buletin menggambarkan aksi kami yang heroik waktu itu. Aksi yang didorong oleh kecintaan pada almamater. Kami, mahasiswa yang tergabung dalam Forum 2000 bahu membahu menopang makara besar yang nyaris runtuh. Begitulah karikatur itu bercerita.
Gairah membangkitkan kembali memori masa silamku. Aku ingat, teriakan dan pekikan penuh semangat membahana di sekeliling area antara Gedung Rektorat UI dan Balairung. Aku yang baru saja melakukan proses daftar ulang sebagai mahasiswa baru di UI menyaksikan ribuan mahasiswa UI dengan jaket kuning dan panji-panji berbagai fakultas telah sampai di ujung undakan tangga yang menuju lantai 1 gedung. Parade poster dan spanduk bertuliskan ”TOLAK DPKP!!!” meramaikan demonstrasi siang itu. Gedung Rektorat UI telah dikepung. Kilatan blitz dari puluhan kamera wartawan dan mahasiswa mengabadikan peristiwa itu. Setelah sekian lama, tak ada satupun orang yang keluar dari balik pintu. Nampaknya pihak rektor dan jajarannya tak acuh dengan kegaduhan yang terjadi di pintu utama gedung.
Aku yang masih hijau dan buta dengan politik kampus menganggap peristiwa itu tak lebih dari pertunjukan kolosal di siang bolong. Ya, pertunjukan tentang nostalgia dominasi dan euforia resistensi di lain kubu. Rektor UI dan jajarannya masih bernostalgia dengan dominasi mereka terhadap mahasiswa dengan mengais sisa-sisa puing hegemoni yang berserakan. Sebuah usaha reposisi arogan pasca kejatuhan rezim ’98. Di pihak lain, pasca Gerakan 98, mahasiswa masih merasakan euforia resistensi terhadap rezim dan ketidakadilan. Dominasi versus resistensi. Judul bagus bagi rekaman di otak seorang mahasiswa baru sepertiku.
Di kemudian hari, setelah menyelesaikan satu diskusi seru di ruang kuliah Teori Antropologi Kontemporer. Aku tersadarkan bahwa peristiwa pengepungan Gedung Rektorat oleh para mahasiswa UI kala itu bukanlah sekadar pertunjukan singkat tentang dominasi versus resistensi. Ada proses panjang yang terjadi dibalik pertunjukan singkat kala itu. Gramsci yang menyadarkanku untuk berpikir lebih jauh ke depan dan lebih dalam pada sebuah inti poin tentang hegemoni dan resistensi. Hegemoni sebagai wujud akhir dominasi ideologi dan resistensi sebagai wujud nyata dari protes kaum marjinal. Jika Rektorat adalah superstructure yang sedang mereposisi maka mahasiswa adalah intelektual organik dari base proletariat yang sedang bangkit. Base dan superstructure tersebut saling terlibat dalam proses dialektik dan hubungan sebab-akibat. Rektorat merasa paling benar dan paling berkuasa atas kampus dan seluruh yang ada didalamnya karena mereka beranggapan kamilah bentuk nyata dari sebuah hegemoni. Mahasiswa selalu resisten dan tidak mau tunduk terhadap kebenaran mutlak dari pemegang hegemoni. Bagiku pada titik ini yang diperlukan adalah sebuah kesadaran organik untuk mau menghancurkan ego dan berpikir lebih jauh ke depan serta merenungkan lebih dalam tentang kekuatan positif dari sebuah kebersamaan. Ada pola pikir yang perlu diubah, ada pola emosi yang perlu ditata dan ada pola kebijakan yang perlu diperbaiki.
Pikiranku terus melayang jauh, ”culture.., hegemony.., organic intellectual...” Sampai satu tepukan halus menghentikan petualangan pikiranku.
”Bang, ayo kita jalan lagi! Sudah hampir ashar nii..!”, seru Indra.
“Oh, oke! Aku juga ga boleh terlambat sampai di lab.”
Keluar dari ruang Laboratorium Antropologi di lantai 3 Gedung B FISIP UI, aku mulai menuruni tangga menuju ruang Departemen Antropologi di lantai bawah. Aku ada janji ketemu dengan Profesor Adawiyyah Assisi. Orang yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri.
Hanya ada beberapa mahasiswa di Lobby Gedung B FISIP UI. Di waktu lalu, tempat ini jadi tongkrongan anak-anak antrop sang penguasa Lobby Gedung B. Tempat lesehan yang asyik untuk berdiskusi, bercanda, dan saling ejek atau sekadar melihat pagelaran busana dari artis-artis dadakan yang kekurangan bahan. Atau di waktu-waktu tertentu menyaksikan hiburan konyol dari ritual tak beradab para senior. Ada mahasiswa yang diikat di sebatang pohon atau tiang dengan hanya mengenakan pakaian dalam adalah ritual tak beradab yang jadi pemandangan lumrah saat itu. Guyuran sampah dan air kotor serta gelak tawa puas akan mengiringi prosesi konyol yang memuakkan itu. Bagiku hal itu adalah paradoks intelektual. Kampusku yang selalu bergairah dengan retorika dan dialektika zaman, bak terbelah ke dalam dua macam generasi. Walaupun jika kita bedah lagi dua macam generasi ini juga terpolarisasi pada berbagai kepentingan pragmatis dan ideologis. Generasi jenis pertama menuju ke arah kematangan intelektual dan kesadaran organik. Sementara itu, generasi jenis kedua menuju ke arah degradasi moral dan kebodohan mekanik. Bagiku yang paling konyol dan menjijikkan tentunya adalah mereka yang mengaku punya kesadaran organik tapi di saat lain melakukan kebodohan mekanik. Ibarat permainan ular tangga, setiap pemain bisa setiap saat naik atau turun lintasan, bergantung dari kesiapan, komitmen dan keistiqomahan. Kalau sudah begini, kampusku berubah menjadi area yang rentan akan benturan antar budaya dan konflik antar kelas. Tapi di sisi lain tetap arogan dalam retorika dan cerdas dalam dialektika. Perpaduan pola dan kultur yang aneh. Itulah FISIP UI, kampusku dengan segala dinamikanya.
Hanya ada dua orang di dalam ruangan departemen. Mba Ima yang ramah, staf administrasi teladan. Bagiku dan teman-teman dia bak dewi penolong di saat-saat genting. Dari balik kursinya di meja paling depan, Mba Ima mengulurkan secarik memo untukku.
“Itu ada memo penting dari Dr. Aji untukmu! Dan mana oleh-olehnya dari Tanah Karo? Awas ya kalo aku ndak dikasih!”, Mba Ima berpura-pura memasang tampang ketus.
“Hahaha.. tenang, mana mungkin aku lupa, Mba! Ini oleh-olehnya tapi dibuka di rumah yaa..!”, ujarku sambil menyerahkan bungkusan yang sejak tadi kusimpan di dalam tas ransel merah marunku.
“Ry, itu kau ya? Segera kesini!”, terdengar suara Profesor Assisi memanggilku. Rupanya beliau telah mengetahui kehadiranku karena mendengar suara-suara tawa kecil dari ruang depan.
Tatapan teduh dan senyum ramah Profesor Assisi menyambut kehadiranku. Walau begitu aku menangkap aura kesal. Pasti karena beliau telah menungguku cukup lama. Kalau sudah begini, tak ada jalan lain, jurus mautku harus beraksi.
“Good afternoon, Prof!”, sapaku sambil berjalan menghampiri meja kerjanya yang sudah lapuk. Tanganku dengan cekatan menaruh bungkusan rapi di atas meja kerjanya. Bungkusan berisi sehelai kain ulos putih yang kubeli pada salah satu pengrajin tradisional di sekitar Danau Toba. Beruntung aku kenal dengan salah satu pengrajin ulos. Jadi aku bisa mendapatkan kain ulos berkualitas dengan harga yang terjangkau.
“Sudah, kau jangan coba merayu nenek-nenek ini! Kalau tak ada hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu, sudah dari tadi aku tinggalkan ruangan ini!”, timpal beliau dengan nada kesal. Walaupun begitu beliau mempersilahkanku untuk duduk. Dan tatapan teduhnya tak bisa menyembunyikan kalau dia sesungguhnya senang dengan kehadiranku.
“Duduk dan dengarkanlah!”
“Sewaktu kau masih di Langkat dan berpetualang di Tanah Karo. Aku dan kolegaku dari Departemen Kriminologi, Profesor Budhyatna, telah menyepakati satu hal. Begini, ke depan departemen ini dan juga Departemen Kriminologi membutuhkan dosen ahli di bidang Crime Anthropology. Memang sebuah bidang kajian yang baru tapi amat penting kedepannya. Seperti kita ketahui, area kejahatan akan semakin meluas dan jenis kejahatan akan semakin variatif disebabkan kondisi sosial politik Indonesia yang semakin tidak menentu. Kaupun sadar tentunya, bangsa ini sedang berada di fase transisi budaya. Ditambah lagi bencana ekologis yang datang silih berganti dan arus global yang terus menerjang tanpa ampun maka tindak kejahatan akan berkembang biak dari lapisan grassroot hingga elit, bak cendawan di musim hujan. Berbagai kejahatan masyarakat akan tumbuh subur dalam variasi bentuk yang mungkin tak terbayangkan. Sedangkan state crime akan semakin merajalela menghancurkan kehidupan bangsa dan negara ini. Cermati dan pahami hal itu!”
“Aku juga telah menghubungi kolegaku di Cornell University, Profesor William Riddle, Antropolog dan Indonesianis. Kau pasti sudah tak asing dengan nama itu bukan. Beliau telah menyatakan kesediaan untuk membantu mempersiapkan satu peluang scholarship untuk master hingga doctoral degree bagi satu alumni yang akan kita utus tahun depan. Dan.., kami berdua, aku dan Profesor Budhyatna telah sepakat bahwa kaulah orang yang tepat untuk menjalankan misi ini.”
Profesor Assisi mengangkat satu jari telunjuknya. Beliau memberikan isyarat agar aku tidak memotong paparannya. Aku sangat mengenalnya dan kalau sudah seperti itu beliau pantang untuk dibantah. Jadi aku urung untuk menyampaikan sesuatu. Menunggunya menyelesaikan seluruh paparannya.
“Aku berharap kau pertimbangkan dengan baik peluang ini. Aku tahu dan sangat mengenalmu. Crime anthropology bukanlah bidang yang kau dalami selama ini. Aku sangat tahu kalau kau begitu tertarik mendalami kajian ecology & politic. Dan itulah yang kau lakukan sampai saat ini, termasuk petualangan terakhir di Tanah Karo. Tapi cobalah pikirkan bahwa apa yang akan kau lakukan akan berguna bagi banyak orang dan banyak pihak. Bukan hanya bagimu tapi juga departemen, fakultas, universitas, masyarakat dan negara yang kau cintai.“
“ Ry, kau harus susuri jalan ini, Jalan Intelektual. Jalan mulia bagi para manusia pilihan yang memimpikan kemaslahatan bagi banyak orang. Kesempatan itu telah datang dan sekaranglah saatnya.”
Jalan ini memang yang telah sadar kupilih sejak dulu sebagai arah hidupku. Kendati di jalan ini telah begitu banyak tokoh berguguran. Bukan kemaslahatan umat yang mereka buat melainkan bencana maha dahsyat bagi kemanusiaan dan kehidupan. Akan tetapi banyak pula tokoh panutan seperti Sayyid Qutb yang meninggal di tiang gantungan. Lalu Antonio Gramsci yang mati, tidak lama setelah dibebaskan dari penjara. Demikian pula dengan Ibnu Taimiyyah dan puluhan intelektual lainnya yang mati karena mempertahankan apa yang mereka yakini.”
Paparannya yang menyakinkan mau tidak mau mulai mempengaruhiku. Akan tetapi aku harus tetap menyampaikan pendapatku.
”Prof, apa yang profesor sampaikan adalah suatu hal yang tak terduga. Aku sendiri merasa tak pantas mendapatkan kehormatan seperti itu. Menurutku masih banyak orang lain yang lebih cocok mengemban misi itu. Aku ucapkan terima kasih atas kepercayaan dari Profesor Assisi dan Profesor Budhyatna. Profesor, aku juga punya hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu. Aku rasa aku belum siap meninggalkan Indonesia. Aku tak tega meninggalkan negeri ini. Pengalaman terakhirku di Tanah Karo semakin membuka mataku bahwa bencana ekologi akan menjadi problem besar yang berpotensi menghancurkan negara ini. Perubahan iklim global, perebutan sumber-sumber daya alam, eksplorasi brutal baik legal maupun ilegal yang dilakukan oleh perusahaan asing maupun lokal, tidak adanya good will dari pemerintah serta ketidaksadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan adalah beberapa faktor yang akan mempercepat usia nusantara ini. ”
”Aku tidak menegasikan keinginan pribadimu justru memperluas spektrum kajianmu. Bukankah kau juga tahu bahwa hampir 90% kerusakan ekologi di Indonesia dan di dunia adalah efek samping dari kebijakan politik. Dan itu adalah bagian dari state crime!” , tegasnya seolah sudah mengetahui arah pembicaraanku dan ingin mementahkan pendapatku.
”Aku tidak meminta jawabanmu hari ini. Kau boleh pertimbangkan lebih dahulu. Dan akupun tidak akan memaksamu. Sekarang pergilah, akupun sudah harus berangkat segera.”
”Dan, thanks untuk oleh-olehnya!”, ujar beliau sambil mengangkat bungkusan pemberianku dari atas mejanya.
”OK, Prof! Anyway, thanks juga untuk nasihat dan tawarannya!”. Jawabku sambil mencangklong tas ransel merah marunku.
Aku bergegas keluar dari ruangan itu. Pertemuan barusan semakin membuat pening kepalaku yang hari ini sudah dipenuhi dengan berbagai pikiran. Hmmm, segelas es cendol dingin yang nikmat buatan Mang Usep pasti bisa menghilangkan pening dikepalaku. Aku harus segera menuju Kober. Cendol, aku datang..
*****
Belum lagi memikirkan ulang dan mengendapkan segala pikiran dan pengalaman sehari ini, masalah baru sudah menyongsong di depan mata. Handphoneku berbunyi, satu pesan menantiku untuk membukanya.
“Hai Neo! Sdh plg lu rupanya. Kita kangen ni! Lu harus ikut. Malam ini Kita akan brtemu Dewa Kaum Radikal. Net,V,dan Mo sdh dimobil. Kita tgg di halte fisip SEKARANG! Al”, begitu isi sms itu.
”Ah, sial!”, begitu batinku berkata. Rupanya mereka telah melihatku di lobby gedung B tadi. Karena itu, mereka mencegatku di halte fisip. Mereka tahu kalau aku akan mencari seribu alasan untuk tidak ikut. Dan memang benar, kalau boleh memilih, aku lebih memilih untuk tidak ikut. Banyak hal yang perlu kupikirkan ulang malam ini. Termasuk tawaran dari Profesor Assisi.
”Albus keparat!, makiku dalam hati.
HP-ku berbunyi..
Nama ALBUS muncul di layar.
”Hei Neo! Jangan coba kabur lu! Kita udah liat lu dari halte. Cepatlah kesini! Hahaha...”, Suara Albus
”Dasar Albus! Merusak rencana gw malam ini. Tunggu! Gw segera kesitu!”, jawabku sambil melihat ke arah halte. Nampak disana sebuah VW Combi berwarna coklat terang dengan strip putih di bagian bodi samping, berkilat terkena terpaan cahaya matahari sore. Tak salah lagi, itu Mobil Ra’ab.
”Neo, gue jamin lu ga akan menyesal! Wakakakak..”
Diiringi tanda tanya, aku bergegas menuju halte fisip.
”Hai, petualang!”, Seru mereka serempak.
”Lama kita tak bersua, sobat!”, sapa V sambil merangkulku dengan hangat.
”Hei, sudah-sudah! Nanti saja kangen-kangenannya! Macam adegan sinetron aja! Kita tak mau tertinggal kan mendengar khutbah dari Dewa Kaum Radikal?! Neo, ayo masuk!“, tegas Albus.
Jam lima lebih sepuluh menit. Kamipun segera meluncur meninggalkan UI sore itu. Surga hijau yang masih tersisa di pinggiran Jakarta, sebentar lagi akan lenyap dari pandangan mata. Berganti dengan kemacetan dan gedung-gedung tinggi yang menjulang dengan kekumuhan dan kemiskinan terjepit pasrah di tengahnya. Berbagai pikiran sehari ini dan juga kenikmatan cendol yang tak jadi kuminum dengan sendirinya terlupakan sejenak. Berganti dengan kegairahan baru.
Sepanjang perjalanan di atas mobil, Net tak henti-hentinya bercerita tentang Sang Dewa Kaum Radikal.
Perlu kiranya sedikit kujelaskan terlebih dahulu disini tentang kami berlima. Aku, Verbach, Net, Movent dan Albus. Kami berlima punya jalinan hubungan yang rumit dan unik. Di permukaan kami berlima adalah rival dalam pemikiran tapi sejatinya kami adalah sahabat. Kami mendirikan dan mengaktifkan sebuah lingkar diskusi kala itu. Lingkar diskusi terbatas yang sangat berpengaruh dalam konstelasi politik kampus. Kami berlima menghidupkan kembali Blok Sosial yang telah terlupakan. Kami jengkel dengan kawan-kawan yang mengusung politik aliran. Kami ingin membuktikan bahwa rival dalam aliran pemikiran tidak harus jadi musuh dalam kenyataan. Kami punya ambisi kuat untuk mengisi zaman kami yang apatis. Ya kami masuk ke UI di saat gerakan mahasiswa di tingkatan nasional berada pada fase anti klimaks. Gerakan telah terpolarisasi dan terfragmentasi. Akibat perbedaan visi dan cara yang ditempuh. Belum lagi berbagai kepentingan politik oportunis yang berhasil memecah belah gerakan. Apatisme massal dan komersialisasi kampus adalah dua musuh terbesar yang kami hadapi ketika itu. Akan tetapi ada hal terpenting yang sejak awal kami sadari, pasca gerakan 98 ada PR besar yang tersisa, yaitu transisi Indonesia menuju era demokratisasi dan transisi UI menuju kampus yang otonom.
Begitulah kawan, kami dipertemukan di kampus besar ini di permulaan zaman baru. Permulaan zaman adalah babak penting dalam setiap zaman. Dari situlah tumbuh dan berakar semangat zaman yang akan menentukan watak dan karakter zaman di kemudian hari. Kami berlima masuk ke FISIP UI di tahun yang sama. Asrama UI adalah tempat dimana kami berlima pertama kali bertemu. Dan kebetulan asrama pada waktu itu adalah salah satu kantong pergerakan.
Neo, Verbach, Net, Movent dan Albus adalah nickname di antara kami. Neo adalah panggilan akrabku bagi keempat sahabatku. Nama asliku, belumlah perlu untuk kusebutkan disini. Dan aku lebih suka bertualang menyerap realita. Tak punya afiliasi khusus sehingga aku tak canggung untuk mempelajari berbagai aliran pemikiran dan kemudian menerjemahkannya dengan logikaku sendiri. Hingga kini aku masih tercatat sebagai salah seorang peneliti muda di Laboratorium Antropologi FISIP UI. Verbach untuk Adhiatmaja. Almarhum ayah Verbach adalah seorang tokoh jurnalis di Indonesia. Inilah yang membuatku sadar darimana Verbach mewarisi kejeniusannya. Verbach juga lebih memilih karier sebagai akademisi. Selain sebagai peneliti di Lab Sosiologi, dia juga aktif menjadi asisten dosen untuk beberapa mata kuliah di jurusannya. Sejak dulu sudah kuyakini, Verbach memang terlahir sebagai filsuf. Net untuk Abisani Triatmodjo. Asli Jogjakarta. Net berasal dari keluarga yang berada. Meskipun begitu ia adalah seorang sosialis sejati. Pergumulannya dengan pemikiran dan jaringan sosialis di Jogja serta proses pematangan intelektual di UI telah membentuk jiwa murni seorang sosialis sejati. Sekarang dia bekerja di Departemen Luar Negeri. Movent untuk Ahmad Wijaya. Dia asli Palembang. Kampus telah mengubahnya menjadi intelektual muslim yang moderat. Selain aktif sebagai peneliti di Laboratorium Administrasi, dia juga aktif sebagai koresponden salah satu surat kabar di Jakarta. Terakhir adalah Albus untuk Andi Masagena. Keturunan bangsawan Bugis yang lama bermukim di Tasikmalaya, kemudian pindah ke Jakarta ketika Albus semester 3. Kami berempat sepakat bahwa dia adalah seorang sosialis oportunis. Pemikirannya memang sosialis tapi penampilannya yang selalu parlente dan necis lebih menunjukkan bahwa dia tak menolak dicap kapitalis. Sebagai kamuflase katanya di satu waktu. Biasanya orang Bugis berkarakter keras. Tapi tidak bagi Albus. Dia sangat licin dan penuh dengan akal bulus seperti belut. Nampaknya alam Tasik yang sejuk telah menyempurnakan karakternya. Sebenarnya Albus masih aktif sebagai peneliti di Laboratorium Ilmu Politik tapi kesibukan lainnya sebagai staf ahli salah seorang anggota parlemen telah menyita waktunya sebagai peneliti. Wajar jika dia lebih banyak berada di Senayan ketimbang di Depok.
“Kawan, Indonesia di ambang perubahan besar! Memang bukan revolusi tapi irama genderangnya tak kalah dari Bolshevik, Revolusi Perancis maupun Revolusi Iran. Headlines koran hari ini telah mengisyaratkannya!”, komentar Net berapi-api.
“Dan menurutmu kita harus ambil bagian dari arus perubahan ini?”, tanya Movent dengan penuh ketenangan.
Kasus BLBI berpeluang diusut lagi. Itu judul headlines beberapa koran besar nasional yang kubaca hari ini. BLBI, kasus perampokan terbesar di akhir abad 20. “Koruptor-koruptor keparat!”, makiku dalam hatiku. Di saat rakyat mengalami penderitaan hebat akibat terpaan krisis moneter di pertengahan tahun 1997 dan kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi, rezim yang berkuasa kala itu beserta kroni-kroninya masih tega merancang sebuah skema perampokan besar-besaran. Para bajingan itu nampaknya sadar bahwa hari-hari terakhir kekuasaan mereka telah menjelang. Maka harta negara yang masih tersisa harus masuk ke kantong mereka. Skema perampokan itu terlegalisasi dan berjalan mulus melalui aliran dana BLBI. Bukan itu saja, hingga kini tak satupun pihak yang terlibat dapat dijerat oleh hukum. Semua seolah bungkam dan merelakan pengembalian dana beserta bunganya menjadi tanggungan APBN tiap tahunnya. Lagi-lagi rakyatlah yang harus menanggungnya. Fakta politik memang berbicara, rezim otoriter itu sudah runtuh 10 tahun lalu tapi realitas politik mengungkap kebalikannya, sesungguhnya kekuasaannya masih membentang dari tingkatan elit hingga ke lapisan grassroot, dari ujung timur hingga ujung barat kepulauan Indonesia. Dan bagi mereka yang sadar, hal itu sangat terasa di hari-hari akhir belakangan ini. Kabar terbaru tentang terungkapnya kasus suap BLBI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah melibatkan Jaksa UTG dan AS membuka peluang baru terungkapnya perampokan terbesar itu. Ini mungkin yang dimaksudkan Net sebagai sebuah isyarat perubahan. Masih terlalu dini memang tapi patut untuk dicermati dengan saksama.
”Siapa sebenarnya tokoh yang akan kita temui malam ini? Tokoh yang kau sebut-sebut sebagai Dewa Kaum Radikal!“, tanyaku penuh selidik. Jujur aku belum tahu tentang tokoh ini tapi analisaku mulai mengarah ke beberapa nama.
”Begini Neo! Ini berawal dari perjalanan dinasku ke Brazil lima bulan yang lalu. Satu moment yang sudah lama sekali kutunggu. Karena di saat yang bersamaan di Brazil sedang diadakan Pertemuan Sosial Dunia. Tepatnya di Porto Alegre. Dan di Porto Alegre lah, di pertemuan besar tersebut aku bertemu dengan Sang Dewa. Aku sempat berbicara langsung secara empat mata dengan dia. Kau perlu tahu bahwa nama Sang Dewa telah menjadi semacam ikon baru bagi perjuangan kaum proletar di seluruh Amerika Latin. Pemikiran Sang Dewa adalah pelita bagi perjuangan panjang kaum sosialis. Dan aku, beruntung punya kesempatan emas untuk berbincang dengannya.”, paparan Net semakin mengarahkanku pada satu nama. Nampaknya Verbach juga tengah memikirkan hal yang sama.
”Apakah yang kau maksud dengan Sang Dewa Kaum Radikal adalah Hugo Sanchez?”, nama itu meluncur dengan cepat dari mulut Verbach.
”Tepat sekali V! Dialah Hugo Sanchez. Sang Dewa Kaum Radikal.”, jawab Albus sambil terus menyetir mobil.
”Aku ingin kalian semua, kita ini bertemu dengan dia! Aku jamin kita semua akan mendapatkan sesuatu yang berharga dari dia malam ini. Terlepas dari aliran pemikiran kita masing-masing!”, tegas Net dengan penuh keyakinan.
Satu hal yang pasti adalah tidak mungkin seorang tokoh besar seperti Hugo Sanchez rela terbang separuh dunia hanya untuk berkunjung ke Indonesia. Pasti ada misi penting yang akan dia lakukan di tanah airku ini. Sangat penting. Mungkin salah satunya adalah membangkitkan para intelektual yang tengah gelisah seperti kami ini. Menurutku ini memang satu kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Pernyataan hatiku membenarkan keyakinan Net. Aku harus temui langsung Sang Dewa Kaum Radikal. Dengarkan sendiri kata-katanya.
Malam telah turun di langit Jakarta. Memayungi jiwa-jiwa yang mulai terlena oleh kemapanan dan kemaksiatan. Hembusannya menggoda untuk berjingkrak bebas dan tertawa lepas di atas kemiskinan dan kebodohan sebagian besar rakyatnya. Di sisi lain, di satu tempat di utara Jakarta di sebuah hotel tua di jalan Lao Tze. Satu pergolakan baru tengah disemai di republik yang renta ini. Dan kesanalah mobil kami meluncur melintasi keramaian yang menjemukan..
*****
Tepat jam tujuh malam, mobil kami terhenti di lampu merah perempatan Salemba.
“Neo, apa kita perlu mampir dulu ke lobi FK UI? Nampaknya kau perlu sedikit bernostalgia malam ini. Wuakakakak...!”, goda Albus kepadaku diiringi senyum dan tawa ketiga sahabatku yang lain.
“Kudengar bidadarimu itu sebentar lagi lulus. Tidakkah kau kangen padanya?! Hahaha...” Godaan Albus makin menjadi-jadi. Dengan refleks tanganku bergerak menjitak kepalanya.
“Sial kau! Sudah jalan terus! Lihat, lampu hijau tuh!”, tegurku. Dan mobilpun kembali meluncur meninggalkan Salemba di belakang.
Wajah Sang Puteri Pelangi muncul di pelupuk mataku. Kecantikan gurun yang telah mempesonaku. Bukan hanya cantik dan ceria, yang teristimewa bagiku ialah dia cerdas dan lembut budi pekertinya. Kombinasi yang sempurna. Kelak, pastilah beruntung para pasien yang mendapat perawatan ditangannya. Tentu lebih beruntung lagi laki-laki yang kelak menjadi suaminya. Berada didekatnya dan merasakan sentuhan lembutnya sudah tentu jadi obat penawar paling mujarab bagi jiwa yang gelisah. Haaahh.. masa lalu, kau kembali datang menghampiri. Sepenuh harapanku kau akan kembali hadir di masa kini..
”Sobat, sudahlah jangan kau kenang lagi masa silam. Takdir besarmu tengah menanti di depan,” Suara V menyadarkanku dari lamunan.
Perempatan Senen telah jauh dari penglihatan. Mobil Ra’ab terus melaju menjemput perubahan. Tak ragu meninggalkan kenangan jauh di belakang.
Hotel de Fontes nampak di depan mata. Hotel dengan arsitektur gaya kolonial membuatnya tampak perkasa di antara bangunan lain disekitarnya. Tak seperti umumnya bangunan hotel di Jakarta saat ini, halaman rumput luas terbentang di sekeliling bangunan utama Hotel de Fontes. Beberapa pohon besar yang rindang jadi pertanda bahwa usia hotel memang telah uzur. Memasuki lobi hotel, kami disuguhi pemandangan yang mempesonakan. Lantainya terbuat dari batuan merah yang berkilat terkena cahaya kandil besar yang tergantung pada langit-langit hotel. Beberapa lukisan awal abad 20 menghiasi dinding berukir yang membentuk lingkaran utuh. Sebuah kemewahan yang antik. Nampaknya di masa silam, tempat ini hanya diperuntukkan bagi segelintir elit bangsa Eropa.
Penjaga hotel terus memandu kami masuk ke bagian yang lebih dalam. Alih-alih ke lantai atas justru kami dibawa turun melalui sebuah lift khusus. Setelah beberapa lama, pintu lift membuka. Nampak pemandangan lain di hadapan. Walau berada jauh di bawah tanah, ruangan ini tak kalah memesona. Di bawah siraman cahaya yang lebih temaram kami memasuki sebuah aula besar. Di dalam aula sudah hadir banyak orang. Sebagian duduk mengelilingi satu meja besar. Sebagian lagi berdiri sambil menikmati minuman ringan. Tidak ada hiasan di ruangan dengan dinding berukir ini. Hanya ada satu bendera merah putih besar yang terbentang di salah satu dinding. Kegairahan dan kegelisahan terasa memenuhi ruangan ini. Nampaknya disinilah tempat pertemuan besar itu. Tempat Sang Dewa Kaum Radikal akan berorasi.
Pintu utama aula terbuka. Seorang laki-laki latin berperawakan tinggi besar nampak jadi pusat perhatian dari orang-orang yang bergerak mengiringinya. Terlihat muda di usianya yang paruh baya. Kutaksir barangkali usianya sekitar 60 tahun. Jenggot lebatnya terlihat rapi. Ditambah penampilannya yang sederhana dengan jas hitam dipadu kemeja tanpa dasi mengingatkanku dengan seorang besar di belahan bumi Persia. Inikah Sang Dewa Kaum Radikal? Takjub kumelihatnya. Tak nampak kemewahan dan keangkuhan dari dirinya. Teringat cerita Net bahwa Sang Dewa adalah murid langsung dari C. Wright Mills. Seorang pemikir fenomenal yang kontroversial di era Perang Dingin. Diduga mati dibunuh di usia muda karena paradigma kritisnya. Seluruh pemikirannya yang unik telah menjadi klasik. Verbach pernah menyampaikan kepadaku bahwa buku karya Wright Mills yang berjudul Sociological Imagination telah menjadi kitab suci di kalangan sosiolog kontemporer.
Inikah Hugo Sanchez. Murid langsung Wright Mills Sang Dewa Kritis. Rupanya Sang Dewa telah berhasil melahirkan Dewa Baru. Hugo Sanchez, anak biologis dari rahim pemikiran kritis Sang Dewa, ikon baru reinkarnasi Che Guevara.
Dia berjalan ke arahku dan tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku. Genggaman tangannya erat namun lembut. Begitu pula ia lakukan kepada beberapa hadirin lainnya yang belum lagi kukenal.
Seorang pemuda usia 30 tahunan mengenakan jas hitam rapih memulai membuka pertemuan ini. Nampaknya dia adalah protokolnya. Setelah berbicara formalitas singkat, dia mempersilahkan Hugo Sanchez untuk memberikan pengantar bagi diskusi malam ini. Sang Dewa memulai prolognya menggunakan bahasa Inggris fasih dengan aksen Amerika Latin yang khas.
”Saudara-saudaraku sekalian, ini adalah kunjunganku yang pertama ke negeri Anda. Meskipun begitu, nama negeri Anda tak pernah lepas dari pikiranku dan cerita pergolakan tentang negeri Anda tak lepas dari pantauanku. Sudah begitu lama aku menantikan saat-saat ini. Bertatap muka dan berbincang langsung dengan para intelektual muda negeri Anda yang senantiasa diliputi kegelisahan tentang hari depan negerinya dan kegundahan tentang masa depan peradaban manusia. Saat ini, sangat penting kiranya bagiku untuk hadir di negeri ini.
Saudara-saudaraku sekalian, satu dasawarsa telah berlalu di era baru negeri Anda. Namun tak jua muncul perbaikan dan kesejahteraan. Yang ada, kondisi makin memburuk. Belum lagi stabilitas dapat dicapai sudah timbul rentetan kerusuhan di berbagai daerah. Aksi separatis makin menjadi, pemboman terjadi tanpa henti. Penyakit endemik tak pernah ada solusi, penyebaran penyakit baru tanpa ampun merenggut nyawa satu persatu. Angka kemiskinan makin meningkat, pengangguran dan gelandangan jadi pemandangan yang memprihatinkan. Kesenjangan sosial ekonomi semakin lebar tak terbayangkan. Harga-harga terus melambung tinggi, kasus busung lapar, bunuh diri dan kematian akibat gizi buruk terjadi setiap hari. Perampokan hasil alam dan penghancuran ekologi sudah tak terbendung lagi. Tak salah bila bencana ekologi datang silih berganti. Belumlah kejahatan diktator dan kroninya dapat diungkap, korupsi di parlemen dan pemerintahan makin menjadi. Pasca otonomi daerah, konflik politik dan desentralisasi korupsi jadi hobi baru di berbagai daerah. Dan hari-hari ke depan menjelang pemilihan umum di negeri Anda, tentu konflik politik akan semakin memanas. Di sisi lain, sudah barang tentu rakyat negeri Anda semakin merana. Bukankah begitu pola yang terbentuk selama ini.
Saudara-saudara yang aku cintai, sungguh aku berempati dengan rakyat negeri Anda. Paparanku tak bermaksud mengulang cerita tentang derita rakyat negeri Anda yang tiada henti. Aku sekadar ingin tunjukkan bahwa Aku memahami negeri Anda. Moga saja Aku tak salah. Menurutku, seluruh kejadian itu tak berdiri sendiri, justru saling berkaitan satu sama lain. Bagiku peristiwa-peristiwa itu merupakan gejala politik dimana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat telah gagal menjalankan perannya.“ Sang Dewa berhenti sejenak untuk mengusap peluh di dahi dan di bawah kedua kelopak matanya.
”Tokoh yang luar biasa.“, begitu batinku berkata.
Perkataan dan perilakunya lebih mirip seorang Syaikh ketimbang Dewa Radikal Kaum Sosialis. Begitu pendapat yang dibisikkan Mo kepadaku. Dan memang demikian adanya. Tingkah lakunya yang tenang, tutur katanya yang halus penuh makna. Jauh dari kesan sangar dan seram. Ini berkebalikan dengan perilaku norak dan karakter keras yang diperlihatkan oleh teman-teman aliran kiri yang tak jarang kutemui. Satu hal yang lebih penting lagi, mungkin dia lebih memahami permasalahan negeriku dibanding sebagian besar bajingan keparat yang duduk di parlemen dan pemerintahan. Aku juga sepakat dengan tesis yang disampaikannya tentang kegagalan negara. Fenomena negara gagal semacam itu telah menjadi gejala umum di dunia dan kini menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia dan ekosistem dunia di awal abad 21.
Sang Dewa melanjutkan kembali prolognya:
”Saudara-saudaraku, perlu aku sampaikan terlebih dahulu bahwa kedatanganku tak bermaksud menggurui. Apalagi membuat semacam provokasi terhadap Anda semua. Jauh lebih penting bagiku adalah dapat mengetahui sikap dan pemikiran Anda dalam menghadapi permulaan abad baru ini. Sebelum segalanya lebih terlambat aku perlu bertatap muka langsung dengan Anda semua. Mendengarkan sendiri kata-kata Anda.” Kalimat ini mengakhiri prolog Sang Dewa.
Nampaknya Sang Dewa lebih menghendaki terjadinya dialektika ketimbang monolog membosankan satu arah. Dan memang seperti itulah ciri dan karakter manusia modern. Santun berkata dan siap berdialektika. Komunikasi dan dialog dua arah perlu terus dikembangkan. Iramanya akan memunculkan pemahaman. Harmoninya akan mewujudkan kebersamaan. Selamat tinggal kau egoisme. Selamat tinggal kau kebodohan diri. Zaman kerdil, kau juga selamat tinggal.
Protokol mempersilahkan kami semua untuk berbicara menyampaikan pendapat maupun memberikan pertanyaan kepada Sang Dewa.
Kulihat Albus, Net, Movent dan Verbach bersiap dengan pendapat mereka. Kami semua tenggelam dalam kegairahan yang sama seperti yang dirasakan oleh semua yang hadir di ruangan ini.
Seseorang memulai mengajukan pertanyaan. Aku sudah tak asing lagi dengan orang ini. Dia adalah salah satu jurnalis muda yang kritis dari harian paling berpengaruh di Republik ini. “Tuan Sanchez, tentu ada sesuatu hal yang maha penting sehingga Tuan menyempatkan diri berkunjung ke Indonesia dan berbicara di forum ini. Selain untuk bertatap muka dan berdiskusi dengan Kami, apakah gerangan kiranya yang memaksa Tuan untuk hadir malam ini?”
“Hohoho.. Betul kiranya persepsiku selama ini bahwa pemuda negeri Tuan diisi oleh banyak orang cerdas dan kritis. Belum sepuluh menit Aku berbicara, Tuan-tuan sudah berusaha menebak maksud dan tujuanku.”
Ya, banyak yang cerdas dan kritis, akan tetapi lebih banyak lagi pemuda yang bodoh dan apatis. Pikiranku berkata mengoreksi pendapat Sang Dewa.
“Sebagaimana Aku sampaikan di awal bahwa yang terpenting bagiku adalah dapat mengetahui dan memahami sikap dan pemikiran Tuan semua yang kuanggap mewakili berbagai gerakan di negeri ini. Tuan-tuan sekalian, sikap dan pemikiran Tuan sekarang akan sangat menentukan seperti apa wajah negeri Tuan kedepan.”, begitu jawab Sang Dewa dengan suaranya yang mantap.
“Kalau begitu Tuan Sanchez, perkenalkan nama saya Adhiatmaja. Menurut Tuan, apakah Tuan optimis bahwa kondisi negeri Kami akan lebih baik?”
”Pertanyaan yang sangat mendasar. Ciri dari orang yang banyak berpikir. Bukan begitu Tuan? Menurutku optimisme tentang kondisi ke depan yang lebih baik sangat penting bagi kita semua. Sudah barang tentu, optimisme ini menjadi barang langka di sebagian besar rakyat negeri Tuan. Dan bisa jadi, virus pesimisme sudah akut menjangkiti seluruh elemen pergerakan di negeri Tuan. Optimisme adalah cermin bahwa masih ada harapan. Harapan yang bersumber pada keyakinan yang kuat. Harapan adalah benih yang harus terus ditumbuhkembangkan. Sebab harapan adalah bakal kenyataan di masa depan. Jadi jawabku adalah Aku optimis bahwa di masa depan negeri Tuan akan lebih baik. Sama dengan keyakinanku bahwa negeriku dan dunia ini akan menjadi lebih baik. Tentang kapan itu terwujud semua bergantung pada kerja keras dan kesabaran kita. Itu saja pun tidak cukup untuk zaman ini, maka harus dilandasi dengan kecerdasan dan persatuan. Tanpa kecerdasan, kerja keras akan jadi kesia-siaan. Tanpa persatuan, kesabaran akan jadi mimpi panjang di siang bolong.”
“Tuan Sanchez, senang dapat bertemu kembali dengan Anda.”, ucap Net memulai pertanyaannya.
“Begitu pula denganku kawan muda Triatmodjo. Akupun sangat senang dapat kembali bertemu denganmu.”
“Lalu menurut Tuan, apakah yang harus kami lakukan sekarang?”
Pertanyaan Net itu nampaknya menggiring kami semua yang hadir disini kepada satu tujuan utama yang menjadi maksud diadakannya pertemuan penting malam ini. Begitu batinku berkata.
”Aku sangat yakin bahwa Tuan semua yang hadir di ruangan ini sudah barang tentu tahu tentang apa yang harus dilakukan untuk negeri Tuan ini. Bahkan bisa jadi sebagian besar dari Tuan juga sudah sejak lama memulai untuk menjalankan agenda masing-masing menyelamatkan negeri ini. Tapi sedikit sumbang saran dan tukar pikiran dari sahabat tua seperti diriku ini tentunya tidak akan membuat Tuan semua berkeberatan. Bagiku tidak ada jalan lain selain menuntaskan gerakan yang telah Tuan-tuan usung pada satu dasawarsa silam. Waktunya sudah sangat mendesak. Kendati begitu, tetap perlu dipersiapkan perencanaan yang matang dan tentu saja kesabaran yang revolusioner.
”Tuan Sanchez, perkenalkan namaku Ryan Barata.”, Aku tak tahan lagi untuk tidak ikut berkomentar di forum ini.
”Oh.. senang dapat bertemu dengan Tuan. Rupanya Tuhan berkehendak mempertemukan kita disini malam ini. Sahabat anda Abisani Triatmodjo dan Profesor Adawiyyah Assisi telah banyak bercerita tentang Tuan kepada saya. Tentu Tuan kaget saya menyebutkan nama Profesor Assisi. Tak perlu bingung. Kami berdua adalah sahabat lama dan teman diskusi sewaktu kami masih menjadi mahasiswa di Columbia University. Mohon sampaikan salamku pada Profesor!”
Kendati masih terkejut, aku teruskan pertanyaanku tadi, ”Senang juga bertemu dengan Tuan. Tentu akan kusampaikan salam Tuan nanti. Tuan Sanchez, Aku rasa kami semua disini membutuhkan penjelasan tentang apa yang Tuan maksud dengan menuntaskan gerakan satu dasawarsa yang silam?”
”Sudah barang tentu menuntaskan Gerakan 98. Paling tidak ada tiga agenda yang belum selesai Tuan-tuan tuntaskan hingga sekarang. Pertama, penghukuman Sang Diktator dan para kroninya. Kedua, pengembalian harta rakyat yang telah dikorupsi oleh para pejabat dan pengusaha negeri Tuan. Ketiga, pembubaran mesin politik rezim otoriter. Andaikan saja tiga agenda itu bisa selesai di dua tahun pertama pasca Gerakan 98 maka Indonesia baru yang lebih baik akan mulai dapat kita lihat saat ini. Sekarang, setelah satu dasawarsa berlalu maka tak ada pilihan lain perjuangan politik harus Tuan-tuan semua lakukan untuk meraih kesejahteraan. Dan, semacam gerakan bawah tanah perlu diadakan untuk menjemput keadilan. Tuan-tuan sekalian, perjuangan politik dan gerakan bawah tanah adalah dua jalur pararel revolusi untuk melakukan penguasaan struktural. Akan tetapi ingat bahwa pemahaman kultural akan menjadi sangat penting bagi dua jalur pararel revolusi. Oleh karena itu, ketersediaan dan keberadaan orang-orang yang mampu memahami keragaman budaya bangsa Tuan akan menjadi faktor penting bagi keberlangsungan dan keberhasilan pergerakan Tuan-tuan kedepan. Bukankah cultural diversity adalah ciri sekaligus kekayaan bangsa Tuan yang tak ternilai?” Sang Dewa berhenti sejenak dan tangannya bergerak mengambil gelas minuman yang ada di hadapannya.
Otakku masih terus bekerja untuk berusaha mencerna dan memahami setiap kata dan kalimat yang terlontar dari mulut Sang Dewa.
”Keyakinan.. persatuan.. dua jalur pararel revolusi.. gerakan bawah tanah – keadilan.. perjuangan politik – kesejahteraan.. pemahaman kultural.. penguasaan struktural.., Hmmm,...!!!” Semakin Aku cermati semakin kusadari bahwa Sang Dewa sedang berupaya membangkitkan sebuah pergolakan besar di negeriku ini. Di seberang sana kulihat Sang Dewa terus meneguk minumannya.
Belum lagi selesai merangkum seluruh pembicaraan malam ini. Di seberang sana kulihat tubuh Sang Dewa mulai limbung dan...
”PRAANGGG...”
Bunyi gelas terjatuh lepas dari tangan Sang Dewa menyentuh lantai marmer dengan sangat keras. Diikuti dengan teriakan semua yang hadir. Tubuh tegap Sang Dewa telah terkulai lemas dan kepalanya jatuh menghantam meja dengan menghasilkan bunyi debam cukup keras. Aku yang sudah berlari ke arah Sang Dewa berada, berlutut segera mengambil pecahan gelas dan mencium aroma minuman yang masih bersisa.
”Tidak salah lagi, minuman ini telah dibubuhi racun getah jelatang.” Desisku kepada sahabat-sahabatku. Racun yang juga hampir menghabisi nyawaku di Tanah Karo. Mengherankan, jelatang hanya bisa ditemukan di Tanah Karo, tepatnya di Kuala Siluman. Nama mitologi lokal untuk puncak Gunung Pamah Semelir.
Kuterobos kerumunan orang yang mengelilingi tubuh Sang Dewa. Darah hitam kental mengalir dari mulut dan hidung Sang Dewa. Kupegang nadi ditangannya. Tak ragu lagi, Sang Dewa telah tiada. Keterkejutan dan kepanikan melanda seluruh yang hadir di ruangan itu. Kabut kegelapan menyelubungi kematian misterius Hugo Sanchez, Sang Dewa Kritis. Dan tanda tanya besar memenuhi kepalaku atas semua kata dan kalimat yang terhambur keluar dari mulut Sang Dewa. Kata dan kalimat yang belum usai dan tidak akan ada kesempatan lagi untuk menyelesaikannya. Dingin.. Gelap.. Kabur..
*****
Epilog
Bintang-gemintang redup seperti surut tertelan kegelapan. Rembulan pun hanya nampak bagai lekuk kecil di tengah bentangan malam. Tak ada orkestra sendu dari binatang malam kali ini. Bahkan angin dingin pun segan untuk menghampiri. Nampaknya mereka semua mengerti, aku ingin sendiri malam ini. Aku ingin bercanda dengan ketenangan dan bernyanyi dengan kesunyian. Kuhisap dalam-dalam udara malam yang dingin. Kubiarkan sejenak hawa magis itu meresap memenuhi paru-paru dan merasuk ke saraf-saraf otak dan hati. Membetot dengan paksa, mencabut jelaga hitam problema, kekesalan, kemarahan dan kegelisahan dari pikiran dan sanubari. Kemudian kuhembuskan perlahan dalam lingkaran-lingkaran besar kabut putih keabu-abuan. Satu kebiasaan yang sejujurnya sangat kubenci dalam hidupku ini. Kupandangi lingkaran-lingkaran kabut yang terbang melayang menuju pucuk-pucuk pinang. Kulepas pergi segala problema. Enyah saja kau kekesalan dan kemarahan. Pergi jauh-jauh kau kegelisahan. Malam makin larut, gelap makin pekat, dan sunyi makin senyap tapi angin dingin mulai berhembus semilir dan orkestra sendu mulai bersiap untuk beraksi. Kuraih gitar akustik di sofa butut yang masih empuk dan mulai memetik melodi satire pada pembukaan nada G minor. Kulantunkan syair tanpa kata dari puisi yang kutulis di tengah lautan Sumbawa dua tahun lalu..
Maret 2008.
Gambar diambil dari sini:
http://pantjasurya.files.wordpress.com/2008/12/sun_storm.jpeg
No comments:
Post a Comment